Perjanjian Bintang
Suara ucapan selamat datang di stasiun Kisaran. Menarik
Khanza dari lamunan panjangnya. Entah sejak kapan, jarinya tanpa sadar sedang
meraba-raba luka bekas siraman air panas yang masih membekas di pergelangan
tangannya. Luka itu masih saja menyisakan bekas, padahal sudah berumur belasan
tahun. Begitu juga dengan kenangan yang menyertainya, akan terus menetap di
sudut hatinya yang paling dalam.
Di sebelahnya, Meira masih pulas dengan kepala menunduk.
Sebahagian rambutnya terjatuh menutupi muka. Badannya tegak dengan kaki
bersilang. Bahkan ketika tidur pun dia terlihat anggun. Posisinya tidak berubah
sejak tadi.
Khanza selalu heran dengan orang-orang yang bisa tidur
dengan posisi ternyamannya selama berjam-jam. Dia pasti tidak sanggup melakukan
itu. Waktu kecil, saat bangun tidur dia sering menemukan dirinya telah berubah
posisi 180 derajat; kepala di kaki, kaki di kepala. Tak jarang pagi hari bapak
menemukan dia terbaring di lantai. Bahkan benturan badan dengan ubin pun tidak
berhasil membangunkannya.
Elin pernah meledek. “Gempa bumi pun tak kuasa
membangunkan kak Khanza.”
Khanza Cuma bisa tertawa mendengarkannya. Elin benar. Dia
memang sangat susah dibangunkan. Adapun Elin sebaliknya. Adiknya itu gampang
sekali membuka mata karena sebab-sebab sepele; suara langkah kaki atau ketukan
ringan di pintu. Tuhan Maha Adil, karena mata indah itu tidak selayaknya
terpejam lama-lama. Bukankah dunia akan kehilangan serinya?
Siapapun akan mengakui Elin memiliki mata menawan.
Barangkali di sanalah terpusat segala daya tariknya. Mata itu begitu jernih dan
memikat. Saat memandangnya, orang akan menemukan dirinya seperti bercermin di
depan kaca yang mengkilap. Mata itu sanggup menghadirkan keteduhan bagi siapa
saja yang memandangnya, mengingatkan mereka pada senja sore di seberang lautan.
Khanza menyukai keindahan senja, seperti dia juga
menyukai mata Elin. Dia pernah mengajak Elin menyusuri pinggiran pantai untuk
melihat panorama matahari terbenam, senja yang masih jelas terlihat dengan
warna kuning kemerahan itu belum membuatnya cemar.
Saat itu umur Khanza berkisar 15 tahun. Hawa sejuk
pedesaan di pinggiran pantai, pasir putih, dan pohon kelapa yang menjulang
kelangit. Pagi itu adalah pagi yang indah. Mereka berjalan bergandengan. Hati
mereka lapang, selapang luasnya lautan yang biru dengan semilir angin yang
bergandengan datang, Khanza dan Elin berjalan menyisiri pantai dengan pohon kelapa di kanan
kirinya. Pikiran mereka bersih, sebersih embun yang mereka dapati di dedaunan yang
jatuh dari atas pohon.
Tempat itu adalah favorit Khanza. Sebuah tanah lapang tak
seberapa luas yang di tumbuhi rumput dan ilalang di dekat pinggiran pantai.
Dari pinggiran pantai, mereka bisa melihat berbagai macam hewan kecil yang
jalan dengan perlahan dan cantik melewati desiran ombak yang tak begitu besar
saling mendorong satu sama lain. Saat senggang, atau ketika hari dan pikirannya
butuh penghiburan, Khanza sering datang ke tempat itu untuk menyepi. Kadang
sendirian, kadang bersama Elin.
Dari tempat itu, dia dapat lebih utuh melihat
perkampuannya. Secara keseluruhan, tidak hanya penggal demi penggal. Memandangi
hamparan ombak yang saling merebut ingin ke permukaan tertiup angin mendatangkan
rasa perasaan tentram di hatinya. Dia merasa bebas, lepas, tanpa ikatan yang
membelenggu. Dia berteriak sekencangnya, tanpa ada yang mendengar atau
memperhatikan.
Khanza melangkahkan kakinya langkah demi langkah, lalu
menjumputi embun dengan tangkai sebatang rumput. Satu demi satu dia letakkan
embun itu di telapak tangan adiknya, membentuk susunan enam huruf berbunyi
“Khanza.” Elin juga melakukan hal yang sama di tangan Khanza “Elin.” Lalu
mereka tertawa bersama. Begitu cerah tawa mereka, secerah atap langit yang
bersih dari awan.
“Tahukah Lin, matamu sebening embun ini?” tanya
Khanza kepada adiknya. Dipandangnya mata Elin dalam-dalam.
Elin tersenyum senang.
“Benarkah?” tegasnya.
Khanza mengangguk.
“Kak, apakah Elin cantik?”
Khanza tersenyum.
“Kamu tidak cantik, tapi kamu sangat cantik,” jawabnya.
Senyum Elin makin lebar. Mata itu makin berbinar.
“Kakak sayang Elin?” tanyanya manja.
Khanza tertawa lepas.
“Pertanyaan apa itu?”
Elin cemberut.
“Jawab saja,” tuntutnya.
Khanza geli melihat adiknya kumat dimanja. “Tentu saja
Elin, adikku yang cantik jelita. Kamu adalah orang yang paling kusayang di
dunia,” jawab Khanza.
Lepas tawa Elin. Dipeluknya sang kakak dengan eratnya.
Khanza membalas pelukan adiknya sambil mengelus-elus rambut panjang Elit yang
tergerai di pundak.
“Elin juga sayang Kakak. Sayang banget.” Suara itu lebih
menyerupai bisikan.
Khanza sering bertanya-tanya, terbuat dari apakah bola
mata Elin. Mata itu seperti mengandung magnet yang menarik besi bernama
laki-laki untuk mendekat. Sejak duduk di bangku SMP, Elin sudah mulai didekati
oleh banyak teman laki-lakinya. Namun dengan usia muda mereka, pendekatan itu
lebih serupa cinta monyet yang tak jelas arahnya. Lalu setelah Elin masuk SMA,
fenomena itu semakin intens. Elin menjadi idola banyak murid laki-laki di
sekolahnya, termasuk teman-teman seangkatan Khanza. Entah berapa kali Khanza
menerima curhat adiknya yang sedang didekati oleh teman-teman lelakinya.
Rasanya Khanza tidak bisa menghitung lagi.
Terhadap mereka semua, Khanza bisa saja tidak ambil
pusing. Biarkan saja mereka berbuat sesukanya, selama tidak mengganggu Elin.
Toh sudah biasa anak muda mengejar cinta. Tapi Khanza mau tidak mau harus
peduli saat itu dilakukan oleh teman-teman terdekatnya.
Suatu hari, saat Khanza duduk di kelas 3 SMA, Abraham
mengajaknya bicara empat mata.
“Za, aku ingin membicarakan sesuatu yang sangat-sangat
penting. Ini hanya antara aku dan kau. Bumi dan langit tidak boleh tahu,”
demikian Abraham berkata.
Khanza tercengang melihat tampang Abraham yang begitu
serius. Seingatnya, terakhir kali Abraham memasang tampang seperti itu adalah
tujuh tahun sebelumnya saat itu dia harus memilih antara sepatu atau tas
sebagai hadiah dari bapaknya karena untuk pertama kalinya dia juara kelas.
“Kalau langit mungkin nggak akan tahu karena jauh. Tapi
bumi kan dekat,” jawab Khanza dengan ragu-ragu.
“Oke, bumi tahu juga nggak apa-apa. Dia pasti bisa
menyimpan rahasia,” kata Abraham.
Kalimat berikutnya serasa tamparan yang membuat kepala
Khanza berkunang-kunang.
“Aku mencintai Elin.”
Khanza terperangah. Diamatinya muka sahabatnya itu dengan
seksama. Tidak ada tanda-tanda beranda. Kalimatnya hanya tiga kata, tapi tandas
dan lugas.
“Apa-apaan ini? Tentu saja kita semua menyayanginya.”
Khanza masih mencoba mencari makna lain dari perkataan Abraham tadi.
“Bukan begitu. Maksudku, aku mencintainya. Bukan cinta
sahabat, melainkan cinta seorang laki-laki kepada seorang perempuan,” jelas
Abraham.
Oke. Sekarang masksud Abraham jelas. Jadi dia ingin
menjadi pagar yang memakan tanaman. Kurang ajar! Khanza menenangkan perasaannya
yang terguncang. Dia berusaha keras membuat suaranya sekalem mungkin.
“kau kerasukan jin apa sih?” tanyanya dengan membentak.
Abraham melengak. Dengan sungguh-sungguh dia berkata,
“Aku serius Za.”
Khanza menimpali, “Aku juga serius. Apa kau tidak lihat
wajahku ini. kau lupa Elin itu siapa ? Kau ingat apa janji kita berempat dulu
?” tanyanya dengan ketus.
“Tentu saja aku ingat. Ingat sekali bahkan. Perjanjian
bintang. Kita berempat bersaudara, susah senang dilalui bersama, satu sama lain
saling menjaga, di manapun selamanya,” jawab Abraham.
Itu adalah janji yang pernah mereka ucapkan
bertahun-tahun lalu. Suatu malam selepas menonton layar tancap di kampung
tetangga, mereka berempat pulang dengan berjalan kaki. Sembari melepas lelah,
mereka berhenti dan duduk-duduk di pinggir jalan yang ditumbuhi rerumputan. Di
atas mereka, langit cerah dipenuhi jutaan bintang-bintang yang berkilau
sehingga sangat cantik dipandang mata. Mereka terpesona menyasksikan kemegahan
alam itu. Bintang memang selalu terlihat lebih terang dan mempesona ketika
malam tiba.
Saat itulah, entah bintang mana yang merasukinya, Jidan
menyampaikan sebuah gagasan cemerlang; mengangkat saudara. semua langsung
sepakat. Masing-masing harus mengusulkan kalimat sumpah yang akan di pakai, dan
pemenangnya adalah yang paling banyak mendapat dukungan. Khanza menang. Ia
mendapatkan suara yang lebih banyak dibanding yang lainnya. Maka malam itu,
disaksikan jutaan bintang yang berkerlip indah di ketinggian sana, keempat anak
itu mengangkat sumpah setia. Mereka menyebutnya “Perjanjian Bintang.”
Bintang di Surga
BalasHapus