Gadis Di Penghujung Jalan
Khanza
mengamati situasi di sekelilingnya. Kursi kereta disusun menghadap ke depan.
Dia duduk dipinggir kursi belakang sambil melihat dibalik bilik jendela kereta.
Setiap baris terdiri dari empat tempat duduk yang dipisahkan oleh sebuah lorong
kecil tempat petugas kereta berlalu-lalang. Kursi A dan B di sebelah kanan,
kursi C dan D di sebelah kiri.
Khanza
duduk di kursi 15A. Kursi 15B di sebelah kirinya masih kosong. Mungkin
penumpangnya baru akan naik dari stasiun berikutnya yang berkisar sekitar 20
menit lagi dari stasiun tempat Khanza berangkat. Untuk sementara dia bisa
memonopoli kursi hijau kusam dengan sedikit karatan di balik ambal kursinya itu
sendirian. Penumpang di kursi 15C dan 15D adalah seorang ibu paruh baya beserta
anaknya. Sang anak, seorang gadis kecil dengan usia sekitar empat tahun dengan
rambut panjang yang di kuncir lalu diikat dengan pita merah sehingga membuat
wajahnya yang cantik kelihatan semakin manis dan feminin, tengah menunduk sambil asyik dengan memainkan ponsel.
Khanza
memandangi gadis cilik itu. Barangkali sadar dirinya sedang diamati, bocah itu
tiba-tiba menengok. Khanza mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum.
Senyum malu-malu mengembang di bibir gadis itu. Lalu kepalanya kembali menunduk
sambil meneruskan bermain ponsel. Tak lama kemudian dia melirik dengan
malu-malunya. Khanza kembali mengedipinya, dan gadis kecil itu kembali
tersenyum malu lalu menghambur ke pelukan ibunya.
Sang ibu
terkaget-kaget sambil tertawa melihat kelakuan mereka. Khanza juga tertawa. Dia
suka menggoda anak-anak, terlebih anak perempuan yang mungil dan manis. Dia
senang memancing senyum malu dan merah pipi mereka, melihat mereka mengingatkan
Khanza pada adiknya, adiknya yang telah bertahun-tahun menghilang dan tidak
diketahui di mana keberadaannya.
*****
Adiknya itu
juga mungil dan manis. Namanya Elin. Elin memiliki rambut yang panjang dengan
warna pirang kemerahan alami seperti rambut orang-orang Eropa. Rambutnya yang
panjang tidk pernah dikucir dan selalu dibiarkan tergerai di bahu. Hidungnya
kecil tapi mancung. Mbangir kata
orang Jawa. Waktu kecil, Khanza paling suka memencet-mencet hidung Elin untuk
melampiaskan rasa gemasnya. Sekarang tentu saja Elin sudah besar. Selisih umur
mereka hanya tiga tahun. Sebenarnya Elin bukan adik kandung Khanza, melainkan
adik angkat. Khanza baru berumur 7 tahun saat bapak ibunya membawa pulang Elin.
Saat itu
hujan sedang lebat-lebatnya. Angin yang menderu kencang dan sahutan petir yang
menggelegar. Khanza sendirian di rumah karena bapak ibunya belum juga pulang.
Bapaknya bekerja sebagai kepala sekolah di SMP negeri di Kota Kisaran,
sementara itu ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga biasa yang kebetulan lagi
berbelanja di pasar raya.
Kecemasan
selalu menyergap Khanza saat hujan deras disertai angin kencang. Dia takut
pohon kelapa yang menjulang tinggi kelangit itu suatu saat akan tumbang. Pohon
kelapa itu amat tinggi dan lancip. Batangnya meliuk-liuk saat diterpa angin.
Kalau ambruk, pastilah atap rumahnya akan tertimpa. Syukurlah, sebegitu jauh
apa yang dia khawatirkan tidak pernah terjadi.
Saat hujan
deras, biasanya bapak mengumandangkan azan di teras rumah. Kata bapak, suara
azan akan menakutkan angin dan petir. Sore itu sebenarnya dia bermaksud
menerapkan ajaran bapak, tapi angin yang terlalu kencang membawa air hujan hingga
ke teras. Khanza enggan kebasahan. Akhirnya dia hanya mengumandangkan azan di
dalam rumah.
*****
Tunggu
punya tunggu, hujan tak kunjung reda. Angin dan petir justru semakin menggila,
seolah meledeknya dan berkata: “lihatlah
anak kecil, aku tidak takut dengan suara azanmu.” Khanza terheran-heran
dibuatnya. Dalam hati dia bertanya-tanya, apakah ajaran bapak tidak manjur? Dia
belum tahu bahwa bahkan hal-hal baik sekalipun tidak akan mendatangkan manfaat
sebagaimana yang diharapkan jika tidak dilakukan dengan kebulatan tekad dan
kesungguhan.
Dengan
cemas Khanza meringkuk di kursi beludru warna cokelat tua yang terletak di
ruang tamu. Kursi itu peninggalan turun temurun dari keluarga bapak, konon
merupakan pemberian dari salah satu seorang kerabat dari Keraton Yogyakarta
sebagai ungkapan terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh buyut Khanza.
Kerangkanya terbuat dari kayu jati yang diukir menyerupai singgasana raja, tapi
dengan versi yang lebih sederhana. Kayu jati itu betul-betul keras setelah
direndam di dalam air selama bertahun-tahun sebelum diraut dan diukir jadi
kursi. Khanza tahu betul kerasnya, karena dia pernah menjadi korban; kepalanya
terbentur saat bermain, dan benjolnya baru hilang berhari-hari kemudian.
Meski angin
dan petir bukan kawan baiknya, tapi Khanza menyukai hujan, terutama irama tetesannya.
Sambil meringkuk, dia mendengarkan secara seksama suara benturan butir-butir
air yang jatuh ke bumi dan menyiramnya dengan kesejukan yang menyuburkan.
Lama-lama Khanza jatuh pulas. Dalam tidur dia bermimpi pohon kelapa di depan
rumahnya benar-benar ambruk karena disambar petir. Dengan ngeri dia menyaksikan
dari teras rumah. Saat batang pohon itu hampir mengenai atap, dia menjerit
keras-keras. Anehnya, bunyi yang ditimbulkan oleh benturan batang pohon dengan
atap rumah mirip suara klakson.
Saat itulah
dia terbnagun dan benar-benar mendengar suara klakson. Rupanya bapak ibunya
telah pulang. Deru mesin sedan tua ditimpa oleh bunyi klakson berulang-ulang.
Entah berapa kali klakson dibunyikan sebelum akhirnya Khanza terbangun. Dengan
sempoyongan dia bergegas lari menuju garasi yang terletak di samping rumah.
*****
Hujan telah
reda dan tinggal menyisakan rintik. Langit yang semula mendung kembali cerah
karena sebahagian besar muatannya telah di tumpahkan ke bumi. Khanza membukakan
pintu garasi. Alangkah herannya dia ketika yang dia lihat keluar dari mobil
pertama kali bukan bapak atau ibunya, melainkan seorang gadis kecil berambut
panjang. Mata bening bocah itu menatap Khanza malu-malu. Sesaat Khanza mendatangi
tempatnya berdiri. Penuh pertanyaan matanya memandang ibu yang baru saja keluar
dari mobil.
“Katanya
kau ingin punya adik. Ini ibu bawakan adik cantik untukmu,” kata ibu sambil
tersenyum.
Ibu selalu
terlihat jauh lebih cantik saat tersenyum. Senyum ibu mengandung pesona khas yang
tidak dimiliki perempuan lain, karena ibu tersnyum tidak hanya dengan bibir,
tapi juga dengan mata, hidung, bahkan seluruh wajahnya seolah-olah ikut
tersenyum.
Memang,
sudah lama Khanza ingin punya adik. Dia sering iri melihat teman-temannya
bermain sambil memomong adik mereka. Dia membayangkan alangkah senangnya jika
dia juga punya adik yang bisa dia sayangi dan lindungi. Berkali-kali dia minta
adik kepada ibu, tapi tak pernah dipenuhi, sampai akhirnya dia capek dan
berhenti. Sekarang, setelah dia tak lagi meminta, tiba-tiba ibu membawakan
seorang adik untuknya.
“Siapa dia
Bu?” tanya Khanza.
“Dia bukan
siapa-siapa melainkan adikmu. Mulai sekarang kau harus menjaganya dengan baik,”
kata ibu, “Elin, ini kakakmu yang tadi ibu ceritakan.”
Gadis kecil
bernama Elin itu mengulurkan tangannya. Khanza menyambut. Jari-jari kecil Elin
terasa hangat di telapak tangannya. Elin menarik tangan Khanza dan menciumnya.
Khanza merasa kikuk. Biasanya dia yang melakukan itu kepada bapak ibunya.
Sekarang Elin melakukan itu kepadanya.
Itulah kali
pertama mereka bertemu. Sejak saat itu Khanza tak lagi sendirian. Setelah
sekian lama menanti, akhirnya dia mempunyai seorang adik yang menjadi tempatnya
berbagi. Tak pernah Khanza memperoleh kesenangan kecuali dia membaginya dengan
Elin, seakan-akan kesenangan itu takkan sempurna sebelum dibagi berdua.
Komentar
Posting Komentar